Jakarta itu Manis

La Fleur
3 min readDec 24, 2020

JAKARTA si biang dualisme—— siapa tak setuju? Nirwana bagi si kaya, di waktu sama si miskin merasakan neraka. Tetapi, keparadoksan itu tak begitu berlaku, dahulu, saat ia belum pernah cicip asam garam kehidupan jua materialisme Ibukota.

Memori utuh dalam serebrum seorang Saralee. Di antara satu gang kecil permukiman kumuh bilangan Jakarta, ia pernah meneduh, meresah, menggelegarkan tawa riang penuh suka, tanpa menyertakan duka. Manakala tinggi hanya sebatas kenop pintu, ia sudah dapat gapai bahagia.

“ALEEEEEE!”

Seruan menusuk rungu siapa saja yang dengar, sebab begitu lantang, dan tak hanya dilaku satu orang. Mereka sekawanan, bagai kelompok ikan yang berenang ke arah sama dan terkoordinasi, menyerukan nama satu teman yang tengah dalam proses penjemputan.

“ALEE, MAIN YUK!” Tak akan berhenti jika yang dipanggil tak kunjung tunjukkan batang hidung dan turuti kemauan, tentu saja. Sedangkan yang dialamatkan Ale oleh bocah-bocah itu, tengah sibukkan diri bersama buku gambar bekas jua krayon pemberian Pakde yang ia hemat dalam memakai.

Satu-satunya sosok dewasa dalam unit rumah susun itu, sang Ibunda, mendekati Saralee yang abai terhadap ajakan teman-temannya.

“Sara, kok teman-temannya didiemin gitu?”

Ibu gak akan paham urusan anak-anak, Saralee pikir. Yang Ibu tahu ‘kan hanya masak tempe terenak sedunia, mengerti apa perkara lika-liku pertemanan mereka?

“Sala lagi ngambek, Buk, diemin aja mereka.”

Anak yang sebut namanya sendiri saja itu belum becus lantas menghantarkan tawa gelitik pada Ibu. Ternyata anak piyik sudah punya konflik pelik pula.

“Kenapa, kalau Ibu boleh tahu?”

“Kemarin aku beli cokelat koin tiga, udah aku makan dua, dan satunya aku sisain mau kasih Ibuk, terus, tiba-tiba, Rafi dateng, langsung ambil aja. Aku udah bilang itu buat Ibuku, tapi dia malah makan! Dia nyolong cokelatku! Aku gamau temenan sama pencuri kayak Rafi!”

Surai-surai gelam milik Saralee lantas jadi objek penyampaian kasih sayang sang Ibu, berupa usapan pelan, dan bak mantra ajapa dalam aksara Dewanagari yang tak ia pahami, ia merekah.

“Anak baik harus sabar, ‘ya, itu Rafi cuma iseng, sayang, lagian, Ibu gak mau cokelat, Sar…”

“Iya, tau, tapi, tetep aja, dia nakal.”

Memanyunkan bibir kini jadi aksi yang dilaku terus-menerus. Meski seyogianya memang harus memaafkan, tapi, apa memang konsep memaafkan semudah itu? Nyatanya, tak sesepele yang disarankan Ibu. Sara masih diselimuti rasa kesal. Sedang di luar, masih ramai teriakan.

“Kita dobrak aja kali ye rumahnya Ale?” aju Bobi, bocah laki-laki yang miliki pipi paling bulat seantero Bidara Cina.

“Hus, yang bener aja, Bob, ‘kan ada ibunya Ale. Lu ‘sih, Fi, kemaren makan coklatnya!” Tsabita mengarahkan telunjuknya pada Rafi, yang sedaritadi diam, merenungi kesalahannya sehari lalu. Kutangnya yang sudah lusuh dan sedikit kekecilan itu ia remas, bibir bagian bawahnya maju dua sentimeter, belum siap bersua.

“Iya, Fi, lu gih minta maaf biar Ale mau main sama kita lagi. Kalau gak, lu gak kita temenin, nih.”

Saralee, Sara, Sala, Ale, dan ia yang masih miliki barisan julukan lain itu jelas dapat dengar konversasi kawan-kawannya dari dalam rumah sepetaknya, namun ibu jari dan telunjuk masih sibuk apit krayon warna hijau yang meronai dedaunan di atas kertas, seakan itu kanvas berharga yang akan disulap jadi mahakarya.

Tok. Tok. Tok.

Onomatopoeia ketukan pintu itu datang setelah Rafi yang terus didesak akhirnya ambil aksi. “Aaale… di rumah gak?” nada suaranya memelas, namun keras. “Maafin Aku ya kemarin makan coklatmu. Habisnya kelihatan enak ‘sih, terus uang jajanku udah habis aku beliin ikan cupang dan nutrisari. Baikan, yuk, Le? Nanti kamu aku beliin coklat koin lima deh, gantinya.”

Untuk sepersekian sekon, hening melumat.

‘Lima?’ Terbelalak sebandung netra Saralee, aktivitas mewarnainya mendadak tak menyenangkan lagi, beralih atensi pada ambang pintu. Tungkai-tungkai mungil itu berlari kecil, namun destinasi pertama adalah kening Ibu untuk didaratkan kecupan. “Ibuk, Sala main dulu ya, nanti sebelum Magrib pulang, kok.” Deretan giginya dipamerkan, tak peduli satu gigi serinya baru saja rontok dua hari lalu.

Lalu sandal jepit Swallow dengan warna karet kuning dipilih ‘tukcmengomplimen daster Hello Kitty yang dikenakannya. Pintu kayu reot itu didorong dan akhirnya didapati lima figur sepantarnya. Tak ada lagi lara di sana, hanya cerahnya mega juga pesona senyumnya yang tak kalah menderang, tak lupa niat untuk menagih janji seorang Rafi untuk belikan lima cokelat koin. “Hari ini aku yang pilih ‘ya kita main apa, Aku mau main Engklak! Bosen main polisi maling terus!” serunya ceria. Tentu, ia ratunya hari ini.

Sungguh, Jakarta pernah jadi tempat termanis di semesta.

--

--

La Fleur

komposer senandika laranya sendiri. di balik segarnya canda, berbunga; bermekaran lah luka. diintai arus rana.